REVIEW JOURNAL INTERNATIONAL
THE RESTORATION DIGITAL OF FILM
BY ROSSELLA CATANESE AT BARCELONA
UNIVERSITY
Restorasi Digital Film Oleh Rossella Catanese Di
Universitas Barcelona
Abstrak
Jurnal ini berfokus pada masalah restorasi atau pemulihan film melalui teknologi digital. Film adalah sebuh
ekspresi ingatan yang kolektif dan
menjadi salah satu warisan budaya manusia yang pantas untuk dijaga dan
dilestarikan koleksinya agar tidak hilang ataupun rusak. Sebagai konsekuensi
masalah melestarikan koleksi film menjadi masalah yang sangat penting dilakukan terutama ketika kelemahan dan kerusakan film telah banyak yang
diterjadi.
Kondisi media audiovisual saat ini adalah
salah satu transisi: elemen analog dan fotokimia secara bertahap digantikan
oleh peralatan digital.Kondisi seperti itu secara radikal memengaruhi praktik
produksi dan distribusi bioskop, serta perdebatan teoretis tentang medium:
kriteria pengarsipan dan prosedur pemulihan tidak terkecuali pada logika ini.
Kata kunci : Restorasi Dokumen,
Film, Media Informasi Elektronik, Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Pelestarian Dokumen
BAB I
PENDAHULUAN
Film adalah salah satu bagian penting dari
perkembangan kehidupan manusia untuk saat ini. Film menjadi gambaran bagaimana
kehidupana manusia dikalangan saat ini dalam sisi suku, bangsa, ras, agama,
maupun kasta. Karena di film terdapat bahasa, kebiasaan, cerita, norma, lokasi
yang penting, dan sebuah kebudayaan dalam bangsa. Film juga merupakan warisa
budaya manusia yang harus dijaga yang dilestarikan keberadaannya dan harus
diarsipkan sesuai dengan terbitnya film atau dengan subjek judul dari
film-fiilm tersebut, memang film harus dijaga kelestariannnya agar dapat diperlihatkan
kembali pada anak cucu yang akan datang atau pada generasi yang akan dating
sehingga mereka dapat mengetahui atau memahami kehidupan atau kebiasaan yang
dilakukan pada jaman sebelumnnya, dan sebagai contoh kehidupan yang positif
untuk dilakukan dimasa yang akan datang dan juga mencegah atau menjauhi
kehidupan yang negative yang dilakukan pada kalangan manusia terdahulu. Karena
itu film harus dijaga kelestariannya agar tidak hilang ataupun rusak, jika ada
film yang rusak harus segera diperbaiki dengan cara di restorasi. Restorasi
adalah proses memperbaiki suatu bahan pustaka baik yang tercetak maupun non
cetak sehingga kembali dalam keadaan semula baik secara fisik maupun isinya dan
agar bisa digunakan kembali. Oleh karena itu makalah ini membahas tentang
restorasi film diera digital ini.
BAB II
REVIEW TEORI
A. Definisi Restorasi
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia restorasi berarti pengembalilan atau pemulihan terhadap
keadaan semula.
Menurut Sutarno
Restorasi adalah suatu kegiatan perbaikan koleksi langka yang sudah rusak agar
dapat dipergunakan lagi dalam keadaan utuh dan lengkap. (Lasa, 2009, p.304)
berpendapat bahwa restorasi disebut juga dengan reparasi yaitu tindakan khusus
yang dilakukan untuk memperbaiki bahan pustaka atau dokumen lain yang rusak
atau lapuk. Amjad berpendapat bahwa restorasi adalah proses fisik yang
dilakukan untuk mengembalikan atau mengubah bahan pustaka yang rusak atau using
ke kondisi aslinya.
Secara umum kegiatan
restorasi diartikan sebagai upaya perbaikan bahan perpustakaan yang telah
mengalami kerusakan dengan memperbaiki tampilan fisik dokumen, sehingga dapat
mendekati keadaan fisik semula tentunya dengan aturan dan etika yang berlaku.
Jadi restorasi adalah
proses perbaikan atau pemulihan bahan pustaka tercetak maupun non cetak yang
telah rusak atau hampir rusak agar dapat digunakan kembali dalam keadaan baik
seperti semula.
B. Koleksi Digital
Dalam dictionary
for Library and Information Science koleksi digital didefinisikan
sebagai :
“a collection of library or archival
materials converted to machine-readable format for Preservation or to provide
electronic access… Also library materials produced in electronic formats,
including e-zines, e-journals, e-books, reference works published online and on
CD-ROM, biblioghraphicc database and other web-based resource…”
Artinya koleksi digital adalah koleksi perpustakaan atau arsip yang
dikonversikan kedalam format yang terbaca oleh mesin untuk tujuan pelestarian
atau penyediaan akses elektronik. Juga termasuk materi yang diproduksi dalam
bentuk elektronik, mencakup e-zines, e-journals, e-books, karya
referensi yang dipublikasikan secara online ke dalam CD-ROM, database,
bibliografi, dan sumber-sumber berbasis web lainya.
Secara garis besar
koleksi digital dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu koleksi hasil
digitalisasi yang merupakan koleksi hasil konversi ke dalam media elektronik
atau digital dan koleksi yang lahir dalam bentuk digital.
Berdasarkan sifat media sumber informasi dan isinya, koleksi digital
dibedakan menjadi :
1. Bahan dan sumber daya full-text, termasuk
disini e-juornal, koleksi digital yang bersifat terbuka.
2. Sumber daya metadata, termasuk perangkat lunak digital
berbentuk catalog, indeks, dan abstrak.
3. Bahan-bahan multimedia digital.
4. Aneka situs internet.
Akan tetapi film juga
merupakan salah satu koleksi perpustakaan yang berbentuk digital, koleksi film
harus dilestarikan guna menjaga warisan budaya terdahulu, di era modern ini
telah banyak perpustakaan yang memiliki koleksi film bahkan telah ada sebuah
pusat perfilman.
BAB III
REVIEW JURNAL
A. Restorasi Film dan Metodologinya
Kasus filologi dan restorasi film adalah salah satu aspek yang paling
relevan dalam masalah studi film kontemporer, film dianggap sebagai bagian dari
warisan budaya untuk dilindungi dan dipulihkan dalam kualitas formal. Sejak 1960-an, stok
film mendapatkan kembali sentralitas dalam masalah
historis dan kritis,
kemudian pada 1980-an, setelah Konferensi Umum UNESCO
di Beograd, nilai budaya gambar bergerak diakui secara resmi. Film, sebagai ekspresi
ingatan kolektif, menjadi bagian dari warisan bersama manusia yang pantas untuk dijaga dan
disebarluaskan. Sebagai konsekuensi dari kesadaran ini, masalah melestarikan
bahan sinematik menjadi masalah yang mendesak, terutama ketika kelemahan
struktural dan kefanaan film diperhitungkan.
Restorasi merupakan
restorasi seni dalam perspektifnya. Cesare Brandi dalam filologi sastra
menyediakan metodologi untuk menentukan
keaslian teks, dan untuk mengembalikannya. Karenanya, restorasi film adalah
karya eksegesis teks filmik yaitu berakar dalam
praktik.
Menurut teori Brandi, "restorasi adalah
momen metodologis di mana karya seni dihargai dalam bentuk material dan dalam
dualitas historis dan estetika dengan maksud untuk mentransmisikannya ke masa
depan" (Brandi, 1977, p. 6) . Proses mentransfer
karya seni ke media pendukung baru
merupakan
langkah
yang diperlukan dalam restorasi film, berdasarkan prinsip-prinsip etika yang terkait dengan
keusangan format, dan keterlacakan dan pembalikan dari setiap intervensi,
sesuai dengan kriteria transparansi yang pemulih terikat.
Bertetto
berpendapat bahwa restorasi terdiri dalam menyusun kembali struktur film pada
waktu yan tidak dapat ditawarkan yaitu
dalam hermeneutika dan pertimbanan teks dalam fragmen dan celahnya. Metode
pendekatan ini sangat diperlukan dalam analisis film seperti dalam penafsiran
teks film dan upaya membuat salinan film. Kemajuan
teknologi dan transformasi estetika dan etis selama sejarah, restorasi adalah
salah satu ketidakpastian dan keterbukaan seperti
untuk mengakomodasi ketidakpastian
ini, hampir setiap aliran pemikiran
mempromosikan simbiosis antara arsip dan laboratorium. Selain itu, kebutuhan
untuk perlindungan gambar bergerak muncul dari sejarah penghancuran stok film, karena
pembusukan kimia dan fisik media pendukung, tetapi juga penghapusan secara
sukarela, dan terhadap perubahan sejarah selera dan gagasan.
Kekosongan legislatif
telah mengelilingi restorasi gambar bergerak. Sebagai akibatnya, telah terjadi bahwa beberapa teknik dan
prosedur, yang sebelumnya tidak diverifikasi dan distandarisasi, telah
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada stok film yang telah menemukan dirinya
dalam kondisi kritis. Kedua, konsep film itu sendiri sebagai karya seni telah diterima hanya
setelah periode yang lama, baik di kalangan profesional maupun di antara
audiensi. Bioskop sering
dianggap sebagai tidak lebih dari hiburan, dengan kurang menghargai komponen
artistik yang kuat dan kemampuannya untuk keterlibatan intelektual. Ini telah terjadi
terlepas dari perdebatan teoretis yang luas tentang epistemologi imajiner
media, keterlibatan emosional dan intelektual khalayak, dan dampak sinema
terhadap sejarah intelektual dan dinamika sosial abad ke-20.
Konstitusi khalayak
tertentu untuk film yang dipulihkan, dengan kemampuan untuk menghargai standar
visual dan representatif dari era lampau, tidak diragukan lagi pencapaian pertama
pelestarian dan restorasi film. Dialog antara era yang berbeda seperti itu bertumpu pada
kesadaran yang diperbarui dan diperkaya akan nilai budaya dari gambar bergerak .
B. Kekhasan
Format Digital
Kondisi media audio visual saat itu merupakan bentuk
transisi dari analog dan fotokimia yang secara bertahap digantikan oleh
peralatan digital. Kondisi itu mempengaruhi produksi, distribusi bioskop,
kriteria pengaripan dan prosedur pemulihan (Fossati, 2009, hal. 6). Media
analog tidak sepenuhnya hilang, tetapi tetap berdampingan dengan digital.
Fitur utama dari sistem digital adalah dapat
mempengaruhi dan merubah teks dan gambar yang pengguna media akses,adanya
kecepatan intervansi, dan bebasnya dalam memanipulasi gambar, kemampuan itu
mengarah pada potensi distorsi gambar dan substitusi dengan salinan yang salah
dan terlalu disesuaikan. Namun terdapat masalah pada otentik restorasi yang
bertentangan dengan prinsip – prinsip etika restorasi, seperti adanya
transparansi intervensi.
Namun demikian penggunaan teknologi informasi dengan
intervensi yang hati – hati dan sesuai dengan prinsip – prinsip etika dalam
restoras film dapat memberikan alat yang efektif untuk akuisisi, pelestarian,
dan akses publik ke warisan gambar bergerak yang dapat memberikan kenikmatan
bagi publik.
Paul Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa
restorasi film terdiri dari prosedur teknis, editorial dan intelektual yang
bertujuan menyeimbangkan kehilangan gambar bergerak, dengan menyerupai aslinya,
dan dengan menjaga format asli (Read; Meyer, 2000, hal. 66). Giovanna Fossati
membantah argument ini, karena Fossati menyoroti pentingnya restorasi bioskop,
duplikasi stok film itu merupakan duplikasi yang menjamin pelestarian
penampilan film bukan pada formatnya. Menurut Fossati, restorasi tidak boleh
bertujuan untuk mempertahan kan format aslinya (film 35 mm atau 16 mm), tetapi
restorasi harus melestarikan fitur visual keseluruhan dari aslinya, seperti
warna, serat, saturasi, dan kontras yang lebih relevan dalam pengalaman
penonton film itu sendiri (Fossati, 2009, hal. 71-72).
Kemajuan teknologi telah menentukan peningkatan
dalam resolusi media visual berbasis digital dan dalam tingkat detailnya, yang
membawanya mendekati kualitas formal dari stok film. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa hasil gambar digital dengan analog masih berbeda. Persepsi
urutan gambar analog pada 24 frame per detik tentu akan berbeda dengan persepsi
urutan audio visual yang diproyeksikan dari sumber elektronik digital (Cherchi.
Usai; Francis; Horwath; Loebenstein, 2008, hal. 108).
C. Digital Sinematek : konservasi film di
ranah teknologi baru
Pada
masalah teoritis hubungan antara sinema dan teknologi digital telah memengaruhi
berbagai sudut pandang tentang pelestarian dan restorasi film yaitu dengan
menentukan kesadaran yang berbeda tentang isu-isu seperti perbedaan materi dari
media pendukung, tingkat populasi gambar, bahasa kesulitan pengarsipan, dan
pengodean yang standar. Ada beberapa arsip dan curator yang tidak homogen
ditujukan untuk beberapa yang meneriman tantangan teknologi kontemporer, dan
menciptakan kembali medium dengan berivestasi pada teknologi yang canggih. Pada
dasarnya konferensi penerimaan lebih cenderung mempertahankan visual asli
daripada formatnya atau dengan kata lain lebih memprioritaskan konten daripada
media pendukun, akan tetapi penelitian komtemporercenderung mempermasalahkan
konten dengan media pendukung.
Dalam
restorasi film kontemporer, teknik grafis computer mengutakan peran yang terus
berlanjut dalam pemulihan gambar yang telah mengalami kerusakan akibat
kerusakan fisik, atau karena bahan kimia. Akan tetapi alat fotokimia kadang
memiliki potensi intervensi yang terbatas baik pada bagian yang rusak berat
maupun pada bagian yang rusak ringan, dengan adanya alat tertentu dapat
memungkinkan untuk menggabungkan elemen gambar secara digital. ( Fossati, 2009,
hlm. 42).
Transparansi dan
reversibilitas intervensi adalah fitur standar dari perangkat lunak restorasi
yang paling umum. Diperlukan untuk perangkat lunak untuk secara otomatis
memberikan laporan dari setiap intervensi. Dengan demikian, file registri memungkinkan menjaga atau
menghapus intervensi dengan kembali ke materi asli. Pada perusahaan produksi dan distribusi
video serta audiensinya lebih memilih penggunaan teknologi yang sangat invasive
tanpa mempedulikan tingkat manipulasi yang terjadi selama restorasi.
Masalah
utama dalam melestarikan film digital menurut Howard Besser pada tahun 2000 ia
mengidentifikasikan ada beberapa masalah untuk pelestarian dari objek digital yang
pertama yaitu masalah melihat, masalah penglihatan dengan adanya kesulitan yang
disebabkan oleh usangnya format, format digital yang sudah berkembang menjadi
tipologi dan tidak kompaibel. Kedua masalah berebut, masalah perebutan
menyangkut format terkompresi atau terenkripsi yang pada saat ini digunakan
untuk industry film. Yang ketiga masalah antar-hubungan, perlunya
mempertimbangkan sifat kompleks sinematek dan elemen yang berkontribusi.
Seperti sutradara menggabungkan konflik kedalam urutan, menambahkan soundtrack,
judul, dan efek khusus. Elemen-elemen yang saling berkaitan akan dihasilkan
oleh system analog yaitu kamera asli negative, cetakan kerja, soundtrack
negative, duplikasi negative, dan cetakan proyeksi.
Ada
beberapa jenis metadata yang mendukung pelestarian objek digital seperti EDL,
mengedit daftar keputusan, digunakan dibidang pengeditan digital dan pasca
produksi, metadata deskriptif, dan spesifikasi teknis.
Dalam
perdebatan kontemporer tentang pelestarian digital gambar bergerak malasah
utamanya adalah keraguan mengenai durasi actual film dalam jaringan distribusi
dan durasi hipotesis media pendukung berbasis digital. Pada masa lalu
standarisasi format film memungkinkan adanya materi diantara bioskop komersial
dan independen serta arsip film. Ketika media pendukung tidak lagi digunakan,
masalah pengodean dan decoding kompatibilitas menjadi priorotas yang mutlak
dengan kondisi yang sangat diperlukan untuk sirkulasi film. Dan untuk
menghindari masalah kapabilitas dengan tujuan untuk menyamakan standar komersial
yang bekerja sama dengan perusahaan produksi dan distribusi utama AS. Pada
format umum telah dilakukan dengan format JPEG 2000, dan bersamaan dengan file
yang berisi intruksi metodologis yang dikirim melalui system penyimpanan atau
jaringan satelit. JPEG 2000 secara fakta adalah format standar yang digunakan
oleh AS atau lebih tepatnya yang terkait dengan industry teknologi informasi
AS, seperti dari UK data arsip juga memiliki format yang berbeda seperti TIFF (
Tagged Image File Format) akan tetapi karena kurang varians dalam
spesifikasinya, JPEG 2000 adalah format yang paling banyak digunakan.
Resolusi adalah faktor
kunci lain. Sekalipun pecinta kualitas visual film fotokimia, standar 2K
telah diterima sebagai model minimum proyeksi sinematik. Standar 2K berarti
2000 piksel untuk garis horizontal. Ini adalah definisi generik: jika referensi adalah standar
Digital Cinema Initiative 2K resolusi asli atau Cinemascope dipotong atau datar dipotong, Anda akan
memiliki masing-masing 2048 × 1080 piksel, 2048 × 858 pixel atau 1998 × 1080
piksel.
Bahkan jika media
audiovisual ditujukan ke definisi tinggi, dari TV ke format video rumahan
(kamera 4K saat ini tersedia juga untuk amatir), 2K minimum telah diterima
untuk memperluas sistem digital ke berbagai tingkat hasil publik. Tentu saja, kita harus
mempertimbangkan persyaratan untuk pemutaran teater, yang membutuhkan
pembesaran gambar pada permukaan yang luas. Dianggap bahwa banyak bahan arsip tidak memerlukan resolusi
tinggi karena tingkat butiran atau pembusukannya, salinan resolusi 2K dari
sebuah film berarti kehilangan 75% dari detail aslinya ( Fossati , 2009, p. 289).
D. Keusangan Terencana TI :
Masalah Biaya
Keusangan terencana industri sebagian membatasi manfaat teknologi digital
untuk arsip dan untuk pelestarian warisan audio visual. Pada kenyataannya
pengelolaan dokumen audio visual digital masih cukup bermasalah. Dalam proses
ini, keuntungan yang paling relevan masuk ke bagian industri TI, yang telah
menciptakan kemuajuan teknologi. Biaya tinggi sistem pengarsipan digital untuk
bioskop harus ditambahkan ke biaya proses konservasi analog yang sangat
diperlukan. Arsip hau merencanakan transfer data ke operator baru pada jangka
waktu tertentu, karena risiko perengkat keras dan lunak yang usang.
Studi terbaru tentang alur kerja pelestarian digital meneliti parameter
biaya dan pemetaan biaya serta manfaat yang terkait, seperti bit yang berbeda
dari kertas dan membutuhkan perawatan yang terus menerus sehingga memelurkan
biaya yang konstan (Rosenthal; Miller; Adams; Storer; Zadok, 2012, hal. 195-196).
Akibatnya arsip digital saat ini membutuhkan perawatan, pemeliharaan permanen,
dengan demikian sumber daya keuangannya pun masih menjadi kelemahan utama. Di
sisi lain banyak jenis stok film masih menawarkan stabilitas jangka panjang
yang sangat baik, dan pengarsipan tradisional dari film negatif (analog) adalah
solusi penyimpanan jangka panjang yang hemat biaya, dengan menyimpannya di
dalam ruang penyimpanan dingin, untuk melindungi bahan kimia dari film.
BAB IV
PEMBAHASAN
Paul Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa
restorasi film terdiri dari prosedur teknis, editorial dan intelektual yang
bertujuan menyeimbangkan kehilangan gambar bergerak, dengan menyerupai aslinya,
dan dengan menjaga format asli (Read; Meyer, 2000, hal. 66). Giovanna Fossati
membantah argument ini, karena Fossati menyoroti pentingnya restorasi bioskop,
duplikasi stok film itu merupakan duplikasi yang menjamin pelestarian
penampilan film bukan pada formatnya. Menurut Fossati, restorasi tidak boleh bertujuan
untuk mempertahan kan format aslinya (film 35 mm atau 16 mm), tetapi restorasi
harus melestarikan fitur visual keseluruhan dari aslinya, seperti warna, serat,
saturasi, dan kontras yang lebih relevan dalam pengalaman penonton film itu
sendiri (Fossati, 2009, hal. 71-72). Lain halnya pada jurnal yang
berjudul Restorasi Arsip Audiovisual di Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI), menurut penulisnya yaitu Resta Pretty Indriawati, kegiatan restorasi
tidak hanya memperbaiki arsip yang rusak, tetapi juga melindungi arsip terhadap
kerusakan-kerusakan yang timbul seperti jamur, goresan-goresan pada emulsi
film, debu, dan lain-lain yang dapat merusak fisik arsip sehingga tidak dapat
terbaca dengan alat baca.
Pada bab riview jurnal sudah dijelaskan bahwa dalam
melakukan restorasi film menjadi digital memerlukan dana yang tidak sedikit,
karena prosesnya dilakukan terus menerus sampai dengan perawatannya. Hal ini
juga sudah dialami oleh lembaga arisp film Indonesia. Yaitu Sinematek
Indonesia. Sinematek Indonesia merupakan lembaga swasta non-profit yang
memiliki keterbatasan dana dalam pengolahan koleksinya. Dikutip dari penelitian
mahasiswa sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Indonesia, Norma
Tridiana (2006), yang berjudul Kendala
Pelestarian Koleksi Film di Sinematek Indonesia, dijelaskan bahwa Sinematek Indonesia melakukan
usaha lain dalam menggalang dana dengan melakukan kerjasama dengan beberapa
pihak swasta dalam dan luar negeri yang perhatian dengan pelestarian koleksi
film. Kerjasama tersebut tidak berupa uang, namun berupa materi peralatan dan
perlengkapan yang dibutuhkan Sinematek Indonesia dalam kegiatan sehari-hari
terutama dalam kegiatan pelestarian koleksi film.
Dalam penelitian mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan
Informasi Universitas Indonesia, Rifka Rifiana (2011) yang berjudul Kerjasama Pelestarian Film: Studi Kasus di
Sinematek Indonesia dijelaskan bahwa dikutip dari Ikhtisar Sejarah
Sinematek Indonesia (1998: p. 1), berkat bergabungnya Sinematek Indonesia dalam
FIAF sejak tahun 1977, maka Sinematek Indonesia masuk da;am pergaulan perfilman
mancanegara. Berbagai hubungan perfilman Indonesia dengan dunia luar, sebagian
besar dihubungkan oleh Sinematek Indonesia. Karena dimanamun arsip film itu
selalu menjadi pusat informasi dan komunikasi perfilman. Jadi bukan hanya
sebagai pusat studi tentang film. Hubungan Sinematek Indomesia dengan FIAF ini
dapat diidentifikasikan sebagai hubungan kerjasama pelestarian film tingkat
internasional sesuai yang direkomendasikan oleh UNESCO dalam Recommendation for the safeguarding and
preservation of moving images (1980). Bentuk kerjasama FIAF dengan
anggotanya pada proyek-proyek yang saling menguntungkan misalnya restorasi film
tertentu atau kompilasi dari filmografi nasional atau internasional.
Masih di penelitian yang sama, dikatakan bahwa upaya
lain dalam pelestarian film di Sinematek Indonesia adalah kerjasama restorasi
film. Kerjasama restorasi film ini baru dilakukan oleh Sinematek Indonesia.
Semua film yang menjadi koleksi Sinematek Indonesia harus direstorasi agar bisa
dinikmati. Apalagi semua copy film sudah ditetapkan untuk tidak diputar lagi
karena jika diputar akan hilang mengingat medianya sudah sangat tipis.
Restorasi merupakan salah satu cara agar film-film itu diputar lagi dengan
kualitas yang lebih baik. Saat ini dari sekian banyak dikoleksi Sinematek
Indonesia baru dua yang direstorasi, yaitu Tiga
Dara (1956) dan Lewat Djam Malam (1954).
Dikatakan pula bahwa dalam waktu dekat pihak Sinematek Indonesia akan berangkat
ke India membawa 10 negatif film untuk restorasi film. Selain dengan India,
Sinematek Indonesia juga melakukan kerjasama restorasi film di Belanda dengan Eye Institute dan Nasional Singapore Museum untuk direstorasi di Itali. Alasan
Sinematek Indonesia melakukan restorasi film di luar adalah peralatan yang
dibutuhkan untuk merestorasi film tidak dimiliki oleh Sinematek Indonesia.
Karena saat ini Sinematek Indonesi hanya memiliki alat ultrasonic vacuum cleaner, yang merupakan hasil sumbangan dari
pemerintahan Jepang. Peralatan restorasi film perkembangan teknologi yang
semakin canggih CIR Cinema Production
Products. Cine 10-A D-Archiver 2K yang
belum dimiliki oleh Sinematek Indonesia.
Upaya dalam kerjasama restorasi ini telah dilakukan
pula oleh beberapa negara di Asia. Salah satunya adalah National Film Archive of
Thailand dalam film berjudul The Boat House (1961) dan The King of The White Elephant (1940)
yang dilakukan mealui program kerjasama dengan Te Technicolor Foundation for Cinema Heritage. Kerjasama tersebut
dilakuka karena kedua negative film tersebut telah hilang padahal kedua film
tersebut merupakan film terbaik di Thailand. Untuk The King of The White Elephant, arsip membuat 35 mm dupe positif
dari 16 mm copy yang dipinjamkan dari Library
of Congress di AS.
Selain melakukan kerjasama restorasi dengan pihak
luar, Sinematek Indonesia menerima bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri
yang pernah diterima Sinematek Indonesia adalah dari Belanda, Amerika,
Australia, Kanada, dan Jepang. Kebanyakan sumbangan tersebut berupa peralatan
film dan yang tersebar dari pemerintahan Jepang berbentuk peralatan kerja untuk
perawatan film. Bentuk lain dari bantuan tersebut berupa dana perawatan film
dan bantuan operasional.
Menurut berita yang ada di Riau tentang artikel yang
berjudul “Selamatkan Film Klasik Indonesia Dengan Teknik Preservasi”.
Lisabona Rahman seprang praktisi
restorasi film berpendapat bahwa Preservasi saama seperti perawatan rutin tubuh
kita, sementara restorasi ibarat operasi, bisa menyembuhkan tetapi sangat rumit
dan mahal, jika serius pasti bisa mempertahankan film sampai 200 tahun. Pada
umumnya film tahun 1920-1960-an berbahan selulosa asetat atau biasa disebut
film seluloid, kelestariannya harus berdasarkan suhu dan kelembapan yang tetap
terjaga dan merupakan kunci agar film masih digunakan. Menurut pendapat Lisa
film seluloid yang disimpan disuhu 16oc dengan kelembapan 80% hanya
bertahan sampai 5 tahun saja, tetapi jika suhu penyimpanan 12-4oc
dengan kelembapan 80% film dapat bertahan hingga ratusan tahun, preservasi dan
restorasi film memang sangat bergantung dengan suhu dan kelembapan. Di
Indoensia banyak sekali museum-musium sejarah, sebagai museum sejarah juga
harus dapat melestarikan film klasik Indonesia yang merupakan medium sejarah,
dengan cara juga dibuatkan copy-an nya supaya dapat ditonton dalam
bentuk copy, dan pengunjung museum juga dapat menonton film klasik
Indonesia. Film merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan sehingga para
generasi muda dapat mamahami kehidupan jaman dahulu, gambar bergerak dan
suara merupakan komponen utama dalam
film yang dapat menarik perhatian dan tidak kalah dengan buku maupun koleksi
lainnya. Di Amerika Serikat dan Eropa hingga saat ini masik tetap melestarikan
film klasik dan simpan dengan baik, karena film-film secara rutin diputar atau
ditonton digenerasi muda yang ada disana.
Pada umumnya memang pelestarian film harus
diperhatikan dengan melakukan restorasi atau preservasi dengan ketentuan sesuai
dengan kebijakan yang ada di lembaga atau instansi buat sehingga film dapat
terjaga hingga saat ini, kesalahan terbesar adalah ketika suatu lembaga atau
instansi membiarkan koleksi digitalnya rusak dan tidak melakukan tindakan
restorasi, ini akan mengakitbatkan suatu sejarah punah.
BAB V
PENUTUP
Tujuan pelestarian
film adalah agar film tetap terjaga dan tidak punah sehingga mampu menjaga
warisa budaya yang dimiliki, pada dasarnya film merupakan salah satu jenis
koleksi perpustakaan yang berbentuk digital sedangkan koleksi digital adalah
koleksi yang berada dalam format digital dan dapat diakses melalui perangkat
digital atau menggunakan alat lain untul dapat memutarnya. Tidak hanya dalam
bentuk cetak pelestarian bentuk digital juga sangat dipentingkan terutama pada
koleksi film, baik film digital maupun film seluoid. Setiap lembaga atau
instansi mempunyai cara yang berbeda terhadap pelestarian film, menurut Paul
Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa restorasi film terdiri dari prosedur
teknis, editorial dan inteklektual yang
bertujuan menghilangkan gambar bergerak. Sedangkan menurut Fossati pelestarian
film dilakukan dengan cara menduplikat film. Pada jurnal yang ditulis oleh
Resta Pretty Indriawati kegiatan
restorasi tidak hanya memperbaiki arsip yang rusak, tetapi juga melindungi
arsip terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul seperti jamur, goresan-goresan
pada emulsi film. Kemudian pelestarian film juga dijelaskan pada berita Riau
yang dijelaskan bahwa agar film tetap terjaga suhu penyimpanan film sekirat
12-4oc dengan kelembapan 80% itu memungkinkan film akan betahan
hingga ratusan tahun. Oleh karena itu restorasi
sangat diperlukan dalam menjaga film-film agar dapat ditonton digenerasi muda
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
Antara Riau. ( 2016, 22 September). Selamatkan Film
Klasik Indonesia Dengan Teknik Preservasi. Diakses 2 Juli 2019 dari Antara
Riau : https://riau.antaranews.com/berita/78703/selamatkan-film-klasik-indonesia-dengan-teknik-preservasi
-
Fatmawati, Endang. (2018, Juni). Preservasi,
Konservasi, dan Restorasi Bahan Perpustakaan. vol. 10.1. Universitas
Diponegoro. Semarang : LIBRIA.
-
Gibran, Surtilawati. (). Preservasi, Konservasi,
dan Restorasi. Bandung.
-
Indriawati, Resta Pretty. Restorasi Arsip Audiovisual di Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI). Diakses pada 29 Juni 2019 dari repository UGM :
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=61902&obyek_id=4
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=61902&obyek_id=4
-
Mustofa. (2015, 23 Desember). Pelestarian Bahan
Pustaka Digital. Diakses pada 2 Juli 2019 dari UPT. Perpustakaan ISI
Surakarta :
https://digilib.isi-ska.ac.id/?p=531
https://digilib.isi-ska.ac.id/?p=531
-
Restorasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Diakses pada 23 Juni dari KBBI :
https://kbbi.web.id/
https://kbbi.web.id/
-
Sriwibowo, Gunawan. (2011, 29 April). Restorasi
Indonesia Apa Artinya. Jakarta. Diakses pada 23 Juni dari Kompasiana :
https://www.kompasiana.com/gunsri2003/5500bddca333113772511d26/restorasi-indonesia-apa-artinya
-
Rifiana, Rifka. 2011. Kerjasama Pelestarian Film: Studi Kasus di Sinematek Indonesia.
Depok. Diakses pada 01 Juli 2019
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252203-S276-Kerjasama%20pelestarian.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252203-S276-Kerjasama%20pelestarian.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar