Sabtu, 09 November 2019


REVIEW JOURNAL  INTERNATIONAL
THE RESTORATION DIGITAL OF FILM
BY ROSSELLA CATANESE AT BARCELONA UNIVERSITY

Restorasi Digital Film Oleh Rossella Catanese Di Universitas Barcelona



Abstrak

Jurnal ini berfokus pada masalah restorasi atau pemulihan film melalui teknologi digital. Film adalah sebuh ekspresi ingatan yang kolektif dan  menjadi salah satu warisan budaya manusia yang pantas untuk dijaga dan dilestarikan koleksinya agar tidak hilang ataupun rusak. Sebagai konsekuensi masalah melestarikan koleksi film menjadi masalah yang sangat penting dilakukan terutama ketika kelemahan dan kerusakan film telah banyak yang diterjadi.
Kondisi media audiovisual saat ini adalah salah satu transisi: elemen analog dan fotokimia secara bertahap digantikan oleh peralatan digital.Kondisi seperti itu secara radikal memengaruhi praktik produksi dan distribusi bioskop, serta perdebatan teoretis tentang medium: kriteria pengarsipan dan prosedur pemulihan tidak terkecuali pada logika ini.
Kata kunci : Restorasi Dokumen, Film, Media Informasi Elektronik, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Pelestarian Dokumen               

BAB I
PENDAHULUAN

Film adalah salah satu bagian penting dari perkembangan kehidupan manusia untuk saat ini. Film menjadi gambaran bagaimana kehidupana manusia dikalangan saat ini dalam sisi suku, bangsa, ras, agama, maupun kasta. Karena di film terdapat bahasa, kebiasaan, cerita, norma, lokasi yang penting, dan sebuah kebudayaan dalam bangsa. Film juga merupakan warisa budaya manusia yang harus dijaga yang dilestarikan keberadaannya dan harus diarsipkan sesuai dengan terbitnya film atau dengan subjek judul dari film-fiilm tersebut, memang film harus dijaga kelestariannnya agar dapat diperlihatkan kembali pada anak cucu yang akan datang atau pada generasi yang akan dating sehingga mereka dapat mengetahui atau memahami kehidupan atau kebiasaan yang dilakukan pada jaman sebelumnnya, dan sebagai contoh kehidupan yang positif untuk dilakukan dimasa yang akan datang dan juga mencegah atau menjauhi kehidupan yang negative yang dilakukan pada kalangan manusia terdahulu. Karena itu film harus dijaga kelestariannya agar tidak hilang ataupun rusak, jika ada film yang rusak harus segera diperbaiki dengan cara di restorasi. Restorasi adalah proses memperbaiki suatu bahan pustaka baik yang tercetak maupun non cetak sehingga kembali dalam keadaan semula baik secara fisik maupun isinya dan agar bisa digunakan kembali. Oleh karena itu makalah ini membahas tentang restorasi film diera digital ini.




BAB II
REVIEW TEORI

A.    Definisi Restorasi
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia restorasi berarti pengembalilan atau pemulihan terhadap keadaan semula.
            Menurut Sutarno Restorasi adalah suatu kegiatan perbaikan koleksi langka yang sudah rusak agar dapat dipergunakan lagi dalam keadaan utuh dan lengkap. (Lasa, 2009, p.304) berpendapat bahwa restorasi disebut juga dengan reparasi yaitu tindakan khusus yang dilakukan untuk memperbaiki bahan pustaka atau dokumen lain yang rusak atau lapuk. Amjad berpendapat bahwa restorasi adalah proses fisik yang dilakukan untuk mengembalikan atau mengubah bahan pustaka yang rusak atau using ke kondisi aslinya.
            Secara umum kegiatan restorasi diartikan sebagai upaya perbaikan bahan perpustakaan yang telah mengalami kerusakan dengan memperbaiki tampilan fisik dokumen, sehingga dapat mendekati keadaan fisik semula tentunya dengan aturan dan etika yang berlaku.
            Jadi restorasi adalah proses perbaikan atau pemulihan bahan pustaka tercetak maupun non cetak yang telah rusak atau hampir rusak agar dapat digunakan kembali dalam keadaan baik seperti semula.

B.     Koleksi Digital
            Dalam dictionary for Library and Information Science koleksi digital didefinisikan sebagai :

“a collection of library or archival materials converted to machine-readable format for Preservation or to provide electronic access… Also library materials produced in electronic formats, including e-zines, e-journals, e-books, reference works published online and on CD-ROM, biblioghraphicc database and other web-based resource…”

Artinya koleksi digital adalah koleksi perpustakaan atau arsip yang dikonversikan kedalam format yang terbaca oleh mesin untuk tujuan pelestarian atau penyediaan akses elektronik. Juga termasuk materi yang diproduksi dalam bentuk elektronik, mencakup e-zines, e-journals, e-books, karya referensi yang dipublikasikan secara online ke dalam CD-ROM, database, bibliografi, dan sumber-sumber berbasis web lainya.
            Secara garis besar koleksi digital dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu koleksi hasil digitalisasi yang merupakan koleksi hasil konversi ke dalam media elektronik atau digital dan koleksi yang lahir dalam bentuk digital.
Berdasarkan sifat media sumber informasi dan isinya, koleksi digital dibedakan menjadi :
1.      Bahan dan sumber daya full-text, termasuk disini e-juornal, koleksi digital yang bersifat terbuka.
2.      Sumber daya metadata, termasuk perangkat lunak digital berbentuk catalog, indeks, dan abstrak.
3.      Bahan-bahan multimedia digital.
4.      Aneka situs internet.
            Akan tetapi film juga merupakan salah satu koleksi perpustakaan yang berbentuk digital, koleksi film harus dilestarikan guna menjaga warisan budaya terdahulu, di era modern ini telah banyak perpustakaan yang memiliki koleksi film bahkan telah ada sebuah pusat perfilman.



BAB III
REVIEW JURNAL

A.    Restorasi Film dan Metodologinya
Kasus filologi dan restorasi film adalah salah satu aspek yang paling relevan dalam masalah studi film kontemporer, film dianggap sebagai bagian dari warisan budaya untuk dilindungi dan dipulihkan dalam kualitas formal. Sejak 1960-an, stok film mendapatkan kembali sentralitas dalam masalah historis dan kritis, kemudian pada 1980-an, setelah Konferensi Umum UNESCO di Beograd,  nilai budaya gambar bergerak diakui secara resmi. Film, sebagai ekspresi ingatan kolektif, menjadi bagian dari warisan bersama  manusia yang pantas untuk dijaga dan disebarluaskan. Sebagai konsekuensi dari kesadaran ini, masalah melestarikan bahan sinematik menjadi masalah yang mendesak, terutama ketika kelemahan struktural dan kefanaan film diperhitungkan.
Restorasi merupakan restorasi seni dalam perspektifnya. Cesare Brandi dalam filologi sastra menyediakan metodologi untuk menentukan keaslian teks, dan untuk mengembalikannya. Karenanya, restorasi film adalah karya eksegesis teks filmik  yaitu  berakar dalam praktik. Menurut teori Brandi, "restorasi adalah momen metodologis di mana karya seni dihargai dalam bentuk material dan dalam dualitas historis dan estetika dengan maksud untuk mentransmisikannya ke masa depan" (Brandi, 1977, p. 6) . Proses mentransfer karya seni ke media pendukung baru merupakan  langkah yang diperlukan dalam restorasi film, berdasarkan  prinsip-prinsip etika yang terkait dengan keusangan format, dan keterlacakan dan pembalikan dari setiap intervensi, sesuai dengan kriteria transparansi yang pemulih terikat.
Bertetto berpendapat bahwa restorasi terdiri dalam menyusun kembali struktur film pada waktu yan tidak dapat ditawarkan  yaitu dalam hermeneutika dan pertimbanan teks dalam fragmen dan celahnya. Metode pendekatan ini sangat diperlukan dalam analisis film seperti dalam penafsiran teks film dan upaya membuat salinan film. Kemajuan teknologi dan transformasi estetika dan etis selama sejarah, restorasi adalah salah satu ketidakpastian dan keterbukaan seperti untuk mengakomodasi ketidakpastian ini, hampir setiap aliran pemikiran mempromosikan simbiosis antara arsip dan laboratorium. Selain itu, kebutuhan untuk perlindungan gambar bergerak muncul dari sejarah penghancuran stok film, karena pembusukan kimia dan fisik media pendukung, tetapi juga penghapusan secara sukarela, dan terhadap perubahan sejarah selera dan gagasan.
Kekosongan legislatif telah mengelilingi restorasi gambar bergerak. Sebagai akibatnya, telah terjadi bahwa beberapa teknik dan prosedur, yang sebelumnya tidak diverifikasi dan distandarisasi, telah menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada stok film yang telah menemukan dirinya dalam kondisi kritis. Kedua, konsep film itu sendiri sebagai   karya seni   telah diterima hanya setelah periode yang lama, baik di kalangan profesional maupun di antara audiensi. Bioskop sering dianggap sebagai tidak lebih dari hiburan, dengan kurang menghargai komponen artistik yang kuat dan kemampuannya untuk keterlibatan intelektual. Ini telah terjadi terlepas dari perdebatan teoretis yang luas tentang epistemologi imajiner media, keterlibatan emosional dan intelektual khalayak, dan dampak sinema terhadap sejarah intelektual dan dinamika sosial abad ke-20.
Konstitusi khalayak tertentu untuk film yang dipulihkan, dengan kemampuan untuk menghargai standar visual dan representatif dari era lampau, tidak diragukan lagi pencapaian pertama pelestarian dan restorasi film. Dialog antara era yang berbeda seperti itu bertumpu pada kesadaran yang diperbarui dan diperkaya akan nilai budaya dari gambar bergerak .

B.     Kekhasan Format Digital
Kondisi media audio visual saat itu merupakan bentuk transisi dari analog dan fotokimia yang secara bertahap digantikan oleh peralatan digital. Kondisi itu mempengaruhi produksi, distribusi bioskop, kriteria pengaripan dan prosedur pemulihan (Fossati, 2009, hal. 6). Media analog tidak sepenuhnya hilang, tetapi tetap berdampingan dengan digital.
Fitur utama dari sistem digital adalah dapat mempengaruhi dan merubah teks dan gambar yang pengguna media akses,adanya kecepatan intervansi, dan bebasnya dalam memanipulasi gambar, kemampuan itu mengarah pada potensi distorsi gambar dan substitusi dengan salinan yang salah dan terlalu disesuaikan. Namun terdapat masalah pada otentik restorasi yang bertentangan dengan prinsip – prinsip etika restorasi, seperti adanya transparansi intervensi.
Namun demikian penggunaan teknologi informasi dengan intervensi yang hati – hati dan sesuai dengan prinsip – prinsip etika dalam restoras film dapat memberikan alat yang efektif untuk akuisisi, pelestarian, dan akses publik ke warisan gambar bergerak yang dapat memberikan kenikmatan bagi publik.
Paul Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa restorasi film terdiri dari prosedur teknis, editorial dan intelektual yang bertujuan menyeimbangkan kehilangan gambar bergerak, dengan menyerupai aslinya, dan dengan menjaga format asli (Read; Meyer, 2000, hal. 66). Giovanna Fossati membantah argument ini, karena Fossati menyoroti pentingnya restorasi bioskop, duplikasi stok film itu merupakan duplikasi yang menjamin pelestarian penampilan film bukan pada formatnya. Menurut Fossati, restorasi tidak boleh bertujuan untuk mempertahan kan format aslinya (film 35 mm atau 16 mm), tetapi restorasi harus melestarikan fitur visual keseluruhan dari aslinya, seperti warna, serat, saturasi, dan kontras yang lebih relevan dalam pengalaman penonton film itu sendiri (Fossati, 2009, hal. 71-72).
Kemajuan teknologi telah menentukan peningkatan dalam resolusi media visual berbasis digital dan dalam tingkat detailnya, yang membawanya mendekati kualitas formal dari stok film. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hasil gambar digital dengan analog masih berbeda. Persepsi urutan gambar analog pada 24 frame per detik tentu akan berbeda dengan persepsi urutan audio visual yang diproyeksikan dari sumber elektronik digital (Cherchi. Usai; Francis; Horwath; Loebenstein, 2008, hal. 108).

C.    Digital Sinematek : konservasi film di ranah teknologi baru
Pada masalah teoritis hubungan antara sinema dan teknologi digital telah memengaruhi berbagai sudut pandang tentang pelestarian dan restorasi film yaitu dengan menentukan kesadaran yang berbeda tentang isu-isu seperti perbedaan materi dari media pendukung, tingkat populasi gambar, bahasa kesulitan pengarsipan, dan pengodean yang standar. Ada beberapa arsip dan curator yang tidak homogen ditujukan untuk beberapa yang meneriman tantangan teknologi kontemporer, dan menciptakan kembali medium dengan berivestasi pada teknologi yang canggih. Pada dasarnya konferensi penerimaan lebih cenderung mempertahankan visual asli daripada formatnya atau dengan kata lain lebih memprioritaskan konten daripada media pendukun, akan tetapi penelitian komtemporercenderung mempermasalahkan konten dengan media pendukung.
Dalam restorasi film kontemporer, teknik grafis computer mengutakan peran yang terus berlanjut dalam pemulihan gambar yang telah mengalami kerusakan akibat kerusakan fisik, atau karena bahan kimia. Akan tetapi alat fotokimia kadang memiliki potensi intervensi yang terbatas baik pada bagian yang rusak berat maupun pada bagian yang rusak ringan, dengan adanya alat tertentu dapat memungkinkan untuk menggabungkan elemen gambar secara digital. ( Fossati, 2009, hlm. 42).
Transparansi dan reversibilitas intervensi adalah fitur standar dari perangkat lunak restorasi yang paling umum. Diperlukan untuk perangkat lunak untuk secara otomatis memberikan laporan dari setiap intervensi. Dengan demikian, file registri memungkinkan menjaga atau menghapus intervensi dengan kembali ke materi asli. Pada perusahaan produksi dan distribusi video serta audiensinya lebih memilih penggunaan teknologi yang sangat invasive tanpa mempedulikan tingkat manipulasi yang terjadi selama restorasi.
Masalah utama dalam melestarikan film digital menurut Howard Besser pada tahun 2000 ia mengidentifikasikan ada beberapa masalah untuk pelestarian dari objek digital yang pertama yaitu masalah melihat, masalah penglihatan dengan adanya kesulitan yang disebabkan oleh usangnya format, format digital yang sudah berkembang menjadi tipologi dan tidak kompaibel. Kedua masalah berebut, masalah perebutan menyangkut format terkompresi atau terenkripsi yang pada saat ini digunakan untuk industry film. Yang ketiga masalah antar-hubungan, perlunya mempertimbangkan sifat kompleks sinematek dan elemen yang berkontribusi. Seperti sutradara menggabungkan konflik kedalam urutan, menambahkan soundtrack, judul, dan efek khusus. Elemen-elemen yang saling berkaitan akan dihasilkan oleh system analog yaitu kamera asli negative, cetakan kerja, soundtrack negative, duplikasi negative, dan cetakan proyeksi.
Ada beberapa jenis metadata yang mendukung pelestarian objek digital seperti EDL, mengedit daftar keputusan, digunakan dibidang pengeditan digital dan pasca produksi, metadata deskriptif, dan spesifikasi teknis.
Dalam perdebatan kontemporer tentang pelestarian digital gambar bergerak malasah utamanya adalah keraguan mengenai durasi actual film dalam jaringan distribusi dan durasi hipotesis media pendukung berbasis digital. Pada masa lalu standarisasi format film memungkinkan adanya materi diantara bioskop komersial dan independen serta arsip film. Ketika media pendukung tidak lagi digunakan, masalah pengodean dan decoding kompatibilitas menjadi priorotas yang mutlak dengan kondisi yang sangat diperlukan untuk sirkulasi film. Dan untuk menghindari masalah kapabilitas dengan tujuan untuk menyamakan standar komersial yang bekerja sama dengan perusahaan produksi dan distribusi utama AS. Pada format umum telah dilakukan dengan format JPEG 2000, dan bersamaan dengan file yang berisi intruksi metodologis yang dikirim melalui system penyimpanan atau jaringan satelit. JPEG 2000 secara fakta adalah format standar yang digunakan oleh AS atau lebih tepatnya yang terkait dengan industry teknologi informasi AS, seperti dari UK data arsip juga memiliki format yang berbeda seperti TIFF ( Tagged Image File Format) akan tetapi karena kurang varians dalam spesifikasinya, JPEG 2000 adalah format yang paling banyak digunakan.
Resolusi adalah faktor kunci lain. Sekalipun pecinta kualitas visual film fotokimia, standar 2K telah diterima sebagai model minimum proyeksi sinematik. Standar 2K berarti 2000 piksel untuk garis horizontal. Ini adalah definisi generik: jika referensi adalah standar Digital Cinema Initiative 2K resolusi asli atau Cinemascope dipotong atau datar dipotong, Anda akan memiliki masing-masing 2048 × 1080 piksel, 2048 × 858 pixel atau 1998 × 1080 piksel.
Bahkan jika media audiovisual ditujukan ke definisi tinggi, dari TV ke format video rumahan (kamera 4K saat ini tersedia juga untuk amatir), 2K minimum telah diterima untuk memperluas sistem digital ke berbagai tingkat hasil publik. Tentu saja, kita harus mempertimbangkan persyaratan untuk pemutaran teater, yang membutuhkan pembesaran gambar pada permukaan yang luas. Dianggap bahwa banyak bahan arsip tidak memerlukan resolusi tinggi karena tingkat butiran atau pembusukannya, salinan resolusi 2K dari sebuah film berarti kehilangan 75% dari detail aslinya ( Fossati , 2009, p. 289).

D.    Keusangan Terencana TI : Masalah Biaya
Keusangan terencana industri sebagian membatasi manfaat teknologi digital untuk arsip dan untuk pelestarian warisan audio visual. Pada kenyataannya pengelolaan dokumen audio visual digital masih cukup bermasalah. Dalam proses ini, keuntungan yang paling relevan masuk ke bagian industri TI, yang telah menciptakan kemuajuan teknologi. Biaya tinggi sistem pengarsipan digital untuk bioskop harus ditambahkan ke biaya proses konservasi analog yang sangat diperlukan. Arsip hau merencanakan transfer data ke operator baru pada jangka waktu tertentu, karena risiko perengkat keras dan lunak yang usang.
Studi terbaru tentang alur kerja pelestarian digital meneliti parameter biaya dan pemetaan biaya serta manfaat yang terkait, seperti bit yang berbeda dari kertas dan membutuhkan perawatan yang terus menerus sehingga memelurkan biaya yang konstan (Rosenthal; Miller; Adams; Storer; Zadok, 2012, hal. 195-196). Akibatnya arsip digital saat ini membutuhkan perawatan, pemeliharaan permanen, dengan demikian sumber daya keuangannya pun masih menjadi kelemahan utama. Di sisi lain banyak jenis stok film masih menawarkan stabilitas jangka panjang yang sangat baik, dan pengarsipan tradisional dari film negatif (analog) adalah solusi penyimpanan jangka panjang yang hemat biaya, dengan menyimpannya di dalam ruang penyimpanan dingin, untuk melindungi bahan kimia dari film.                                                                                                                                            


BAB IV
PEMBAHASAN

Paul Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa restorasi film terdiri dari prosedur teknis, editorial dan intelektual yang bertujuan menyeimbangkan kehilangan gambar bergerak, dengan menyerupai aslinya, dan dengan menjaga format asli (Read; Meyer, 2000, hal. 66). Giovanna Fossati membantah argument ini, karena Fossati menyoroti pentingnya restorasi bioskop, duplikasi stok film itu merupakan duplikasi yang menjamin pelestarian penampilan film bukan pada formatnya. Menurut Fossati, restorasi tidak boleh bertujuan untuk mempertahan kan format aslinya (film 35 mm atau 16 mm), tetapi restorasi harus melestarikan fitur visual keseluruhan dari aslinya, seperti warna, serat, saturasi, dan kontras yang lebih relevan dalam pengalaman penonton film itu sendiri (Fossati, 2009, hal. 71-72). Lain halnya pada jurnal yang berjudul Restorasi Arsip Audiovisual di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), menurut penulisnya yaitu Resta Pretty Indriawati, kegiatan restorasi tidak hanya memperbaiki arsip yang rusak, tetapi juga melindungi arsip terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul seperti jamur, goresan-goresan pada emulsi film, debu, dan lain-lain yang dapat merusak fisik arsip sehingga tidak dapat terbaca dengan alat baca.
Pada bab riview jurnal sudah dijelaskan bahwa dalam melakukan restorasi film menjadi digital memerlukan dana yang tidak sedikit, karena prosesnya dilakukan terus menerus sampai dengan perawatannya. Hal ini juga sudah dialami oleh lembaga arisp film Indonesia. Yaitu Sinematek Indonesia. Sinematek Indonesia merupakan lembaga swasta non-profit yang memiliki keterbatasan dana dalam pengolahan koleksinya. Dikutip dari penelitian mahasiswa sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Indonesia, Norma Tridiana (2006), yang berjudul Kendala Pelestarian Koleksi Film di Sinematek Indonesia,  dijelaskan bahwa Sinematek Indonesia melakukan usaha lain dalam menggalang dana dengan melakukan kerjasama dengan beberapa pihak swasta dalam dan luar negeri yang perhatian dengan pelestarian koleksi film. Kerjasama tersebut tidak berupa uang, namun berupa materi peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan Sinematek Indonesia dalam kegiatan sehari-hari terutama dalam kegiatan pelestarian koleksi film.
Dalam penelitian mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Indonesia, Rifka Rifiana (2011) yang berjudul Kerjasama Pelestarian Film: Studi Kasus di Sinematek Indonesia dijelaskan bahwa dikutip dari Ikhtisar Sejarah Sinematek Indonesia (1998: p. 1), berkat bergabungnya Sinematek Indonesia dalam FIAF sejak tahun 1977, maka Sinematek Indonesia masuk da;am pergaulan perfilman mancanegara. Berbagai hubungan perfilman Indonesia dengan dunia luar, sebagian besar dihubungkan oleh Sinematek Indonesia. Karena dimanamun arsip film itu selalu menjadi pusat informasi dan komunikasi perfilman. Jadi bukan hanya sebagai pusat studi tentang film. Hubungan Sinematek Indomesia dengan FIAF ini dapat diidentifikasikan sebagai hubungan kerjasama pelestarian film tingkat internasional sesuai yang direkomendasikan oleh UNESCO dalam Recommendation for the safeguarding and preservation of moving images (1980). Bentuk kerjasama FIAF dengan anggotanya pada proyek-proyek yang saling menguntungkan misalnya restorasi film tertentu atau kompilasi dari filmografi nasional atau internasional.
Masih di penelitian yang sama, dikatakan bahwa upaya lain dalam pelestarian film di Sinematek Indonesia adalah kerjasama restorasi film. Kerjasama restorasi film ini baru dilakukan oleh Sinematek Indonesia. Semua film yang menjadi koleksi Sinematek Indonesia harus direstorasi agar bisa dinikmati. Apalagi semua copy film sudah ditetapkan untuk tidak diputar lagi karena jika diputar akan hilang mengingat medianya sudah sangat tipis. Restorasi merupakan salah satu cara agar film-film itu diputar lagi dengan kualitas yang lebih baik. Saat ini dari sekian banyak dikoleksi Sinematek Indonesia baru dua yang direstorasi, yaitu Tiga Dara (1956) dan Lewat Djam Malam (1954). Dikatakan pula bahwa dalam waktu dekat pihak Sinematek Indonesia akan berangkat ke India membawa 10 negatif film untuk restorasi film. Selain dengan India, Sinematek Indonesia juga melakukan kerjasama restorasi film di Belanda dengan Eye Institute dan Nasional Singapore Museum untuk direstorasi di Itali. Alasan Sinematek Indonesia melakukan restorasi film di luar adalah peralatan yang dibutuhkan untuk merestorasi film tidak dimiliki oleh Sinematek Indonesia. Karena saat ini Sinematek Indonesi hanya memiliki alat ultrasonic vacuum cleaner, yang merupakan hasil sumbangan dari pemerintahan Jepang. Peralatan restorasi film perkembangan teknologi yang semakin canggih CIR Cinema Production Products. Cine 10-A D-Archiver 2K yang belum dimiliki oleh Sinematek Indonesia.
Upaya dalam kerjasama restorasi ini telah dilakukan pula oleh beberapa negara di Asia. Salah satunya adalah National Film Archive of  Thailand  dalam film berjudul The Boat House (1961) dan The King of The White Elephant (1940) yang dilakukan mealui program kerjasama dengan Te Technicolor Foundation for Cinema Heritage. Kerjasama tersebut dilakuka karena kedua negative film tersebut telah hilang padahal kedua film tersebut merupakan film terbaik di Thailand. Untuk The King of The White Elephant, arsip membuat 35 mm dupe positif dari 16 mm copy yang dipinjamkan dari Library of Congress di AS.
Selain melakukan kerjasama restorasi dengan pihak luar, Sinematek Indonesia menerima bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri yang pernah diterima Sinematek Indonesia adalah dari Belanda, Amerika, Australia, Kanada, dan Jepang. Kebanyakan sumbangan tersebut berupa peralatan film dan yang tersebar dari pemerintahan Jepang berbentuk peralatan kerja untuk perawatan film. Bentuk lain dari bantuan tersebut berupa dana perawatan film dan bantuan operasional.
Menurut berita yang ada di Riau tentang artikel yang berjudul “Selamatkan Film Klasik Indonesia Dengan Teknik Preservasi”. Lisabona  Rahman seprang praktisi restorasi film berpendapat bahwa Preservasi saama seperti perawatan rutin tubuh kita, sementara restorasi ibarat operasi, bisa menyembuhkan tetapi sangat rumit dan mahal, jika serius pasti bisa mempertahankan film sampai 200 tahun. Pada umumnya film tahun 1920-1960-an berbahan selulosa asetat atau biasa disebut film seluloid, kelestariannya harus berdasarkan suhu dan kelembapan yang tetap terjaga dan merupakan kunci agar film masih digunakan. Menurut pendapat Lisa film seluloid yang disimpan disuhu 16oc dengan kelembapan 80% hanya bertahan sampai 5 tahun saja, tetapi jika suhu penyimpanan 12-4oc dengan kelembapan 80% film dapat bertahan hingga ratusan tahun, preservasi dan restorasi film memang sangat bergantung dengan suhu dan kelembapan. Di Indoensia banyak sekali museum-musium sejarah, sebagai museum sejarah juga harus dapat melestarikan film klasik Indonesia yang merupakan medium sejarah, dengan cara juga dibuatkan copy-an nya supaya dapat ditonton dalam bentuk copy, dan pengunjung museum juga dapat menonton film klasik Indonesia. Film merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan sehingga para generasi muda dapat mamahami kehidupan jaman dahulu, gambar bergerak dan suara  merupakan komponen utama dalam film yang dapat menarik perhatian dan tidak kalah dengan buku maupun koleksi lainnya. Di Amerika Serikat dan Eropa hingga saat ini masik tetap melestarikan film klasik dan simpan dengan baik, karena film-film secara rutin diputar atau ditonton digenerasi muda yang ada disana.
Pada umumnya memang pelestarian film harus diperhatikan dengan melakukan restorasi atau preservasi dengan ketentuan sesuai dengan kebijakan yang ada di lembaga atau instansi buat sehingga film dapat terjaga hingga saat ini, kesalahan terbesar adalah ketika suatu lembaga atau instansi membiarkan koleksi digitalnya rusak dan tidak melakukan tindakan restorasi, ini akan mengakitbatkan suatu sejarah punah.




BAB V
PENUTUP

Tujuan pelestarian film adalah agar film tetap terjaga dan tidak punah sehingga mampu menjaga warisa budaya yang dimiliki, pada dasarnya film merupakan salah satu jenis koleksi perpustakaan yang berbentuk digital sedangkan koleksi digital adalah koleksi yang berada dalam format digital dan dapat diakses melalui perangkat digital atau menggunakan alat lain untul dapat memutarnya. Tidak hanya dalam bentuk cetak pelestarian bentuk digital juga sangat dipentingkan terutama pada koleksi film, baik film digital maupun film seluoid. Setiap lembaga atau instansi mempunyai cara yang berbeda terhadap pelestarian film, menurut Paul Read dan Mark Paul Meyer berpendapat bahwa restorasi film terdiri dari prosedur teknis, editorial dan  inteklektual yang bertujuan menghilangkan gambar bergerak. Sedangkan menurut Fossati pelestarian film dilakukan dengan cara menduplikat film. Pada jurnal yang ditulis oleh Resta Pretty Indriawati kegiatan restorasi tidak hanya memperbaiki arsip yang rusak, tetapi juga melindungi arsip terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul seperti jamur, goresan-goresan pada emulsi film. Kemudian pelestarian film juga dijelaskan pada berita Riau yang dijelaskan bahwa agar film tetap terjaga suhu penyimpanan film sekirat 12-4oc dengan kelembapan 80% itu memungkinkan film akan betahan hingga ratusan tahun.  Oleh karena itu restorasi sangat diperlukan dalam menjaga film-film agar dapat ditonton digenerasi muda saat ini.











DAFTAR PUSTAKA

-          Antara Riau. ( 2016, 22 September). Selamatkan Film Klasik Indonesia Dengan Teknik Preservasi. Diakses 2 Juli 2019 dari Antara Riau : https://riau.antaranews.com/berita/78703/selamatkan-film-klasik-indonesia-dengan-teknik-preservasi
-          Fatmawati, Endang. (2018, Juni). Preservasi, Konservasi, dan Restorasi Bahan Perpustakaan. vol. 10.1. Universitas Diponegoro. Semarang : LIBRIA.
-          Gibran, Surtilawati. (). Preservasi, Konservasi, dan Restorasi. Bandung.
-          Indriawati, Resta Pretty. Restorasi Arsip Audiovisual di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Diakses pada 29 Juni 2019 dari repository UGM :
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=61902&obyek_id=4
-          Mustofa. (2015, 23 Desember). Pelestarian Bahan Pustaka Digital. Diakses pada 2 Juli 2019 dari UPT. Perpustakaan ISI Surakarta :
https://digilib.isi-ska.ac.id/?p=531
-          Restorasi.  Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Diakses pada 23 Juni dari KBBI :
https://kbbi.web.id/
-          Sriwibowo, Gunawan. (2011, 29 April). Restorasi Indonesia Apa Artinya. Jakarta. Diakses pada 23 Juni dari Kompasiana :
https://www.kompasiana.com/gunsri2003/5500bddca333113772511d26/restorasi-indonesia-apa-artinya
-          Rifiana, Rifka. 2011. Kerjasama Pelestarian Film: Studi Kasus di Sinematek Indonesia. Depok. Diakses pada 01 Juli 2019
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252203-S276-Kerjasama%20pelestarian.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar